KEBAHAGIAAN YANG
TERWUJUD
Sejak
kecil aku tak pernah menikmati kebahagiaan seperti orang kebanyakan dan
anak-anak seusia ku. Aku Adnan Putra anak kedua dari dua bersaudara, kakak ku
laki-laki umurnya hanya berjarak dua tahun lebih tua dariku. Ketika usia ku
sembilan tahun dan pada saat itu aku masih duduk di kelas 4 SD orang tua ku
bercerai. Keadaan ini membuat aku dan kakak ku surya tidak pernah mendapatkan
perhatian dari seorang ibu dan ayah. Ibu kini bekerja sebagai penjual kue
rumahan dan setiap hari harus menerima pesanan para pelanggannya sampai larut
malam. Ayah sama sekali tidak pernah memikirkan biaya untuk aku dan kakak ku.
Dia bukan lah sosok laki-laki yang bertanggung jawab pada keluarga.
Meski keadaan ekonomi keluarga ku tidak terlalu kesulitan
setelah ayah dan ibu bercerai, namun aku sangat merasa terlantar. Perhatian ibu
tersita oleh pekerjaannya demi membiayai aku dan kakak ku. Sampai aku sudah
beranjak remaja dan memasuki gerbang putih abu ayah tidak lagi pernah menampak
kan wajahnya atau pun menelpon hanya untuk sekedar mengetahui kabar
anak-anaknya semenjak kasus perceraian itu.
Sesungguhnya aku amat sangat terpukul oleh keadaan ini.
Tetapi, aku sama sekali tidak pernah mengeluh dan berusaha menutupi segala
kesedihannku.
Sekarang, aku mulai tumbuh dan menjadi seorang remaja.
Bagi sebagian orang masa putih abu merupakan kesan terindah yang pernah di
alami. Namun, ini tidak bagi diriku. Aku merasakan suasana kelas yang seperti
neraka. Ketika aku memulai hari ku dan terbangun dari tidur aku berguman dalam
hati ughh sekolah lagi,sekolah lagi itu
tanda nya aku harus bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan.
Penampilan ku tidak pernah bisa diterima oleh mereka.
Kata mereka aku tidak gaul, gaya ku culun dan sebagainya. Yang memang
kebanyakkan siswa dikelas ku merupakan anak orang konglomerat dan yang pasti
gaji orang tua mereka melebihi gaji ibu ku yang hanya seorang penjual kue
rumahan. Aku tidak seperti mereka yang sejak kecil hidup dalam kemewahan. Sejak
ayah dan ibu bercerai aku sudah bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri
untuk menambah biaya sekolah.
Pekerjaan ku tidak terlalu berat dengan mengandalkan
keahlian ku menggambar aku sering membuatkan komik atau gambar manga untuk
teman-teman ku semasa sekolah dasar. Hal ini aku lakukan sampai aku memasuki
sekolah menengah pertama. Semua berputar 90 derajat ketika aku memasuki gerbang
putih abu. Mungkin, memang salah ku juga aku bersekolah di sekolah favorit dan
menurut kabar dari tetangga ku yang bersekolah disana adalah orang yang serba
dalam kemewahan.
Aku memasuki sekolah ini karena guru ku semasa SMP
mendaftarkan aku dengan jalur prestasi yang aku miliki yaitu menggambar dan
melukis. Dengan senang hati aku menerima walaupun aku tahu bahwa jarang sekali
orang yang perekonomiannya serba berkecukupan dapat masuk ke sekolah elite
tersebut. Ibu dan kakak ku sangat mendukung untuk aku bersekolah disana. Mereka
rela bekerja apa saja demi membiayai sekolah ku yang tidak murah untuk ekonomi
keluarga ku sekarang ini.
Pagi ini seperti biasa aku sekolah dengan mengendarai
sepeda. Rumah ku tidak terlalu jauh jaraknya dari sekolah itu. Aku lebih senang
mengendarai sepeda ketimbang harus menggunakan sepeda motor. Kakak ku
menyarankan untuk memakai motornya namun aku mengelak karena aku tidak suka
memakainya.
Suasana kelas sudah cukup ramai. Jam sudah menunjukan
pukul 06.40
“aniirr, hari gini
kesekolah masih pake sepeda. Miskin pisan ente Nan!” ucap salah seorang teman
ku bernama Ryan dengan logat sundanya. Aku tinggal didaerah buah batu-bandung
tak heran banyak teman sekelasku berbicara menggunakan basa sunda
Aku sama sekali tak
menghiraukan apa yang dia bicarakan “sia ngajak dia adu jeung aing!” kali ini
dia memukul bahu ku dari belakang. Aku sempat terjatuh namun kemudian aku bangkit.
Tidak ada yang membela ku seisi kelas malah menertawakan kejadian tadi
Aku kembali berjalan menuju bangku temapt dimana aku
duduk dan menyimpan tas. Beginilah aku tidak punya teman, duduk seorang diri.
Sungguh miris kedangarannya. Siang ini pelajaran bahasa Indonesia. Bu Nining
guru ku menyuruh kami membuat kelompok yang terdiri antara 4-6 orang
perkelompok untuk materi diskusi.
“Buat materi diskusi
ini, kalian buat kelompok yah? Satu kelompok bisa 4 sampai 5 orang” perintah Bu
Nining
“Hey, aku kesini yah”
Ucap ku pada salah satu kelompok, mereka sama sekali tak menjawab dan
berpura-pura tidak mendengar
Satu persatu kelompok telah aku coba dan tidak ada yang
mau menerima aku menjadi salah satu anggota. Aku mulai pasrah dan kembali duduk
lemas dibangku .
“Nan, kadieu we, masih
kosong da ngan opatan ieu kelompok na!” teriak Faisal tiba-tiba. Dengan hati
yang girang aku menghampiri mereka. Ternyata masih ada orang baik yang mau
menerima ku disini. Meski aku tahu tidak semua anggota kelompoknya dapat
menerima kehadiran ku.
***
Aku menjalani hari demi hari dengan keikhlasan hati.
Hanya satu dari sekian banyak siswa dikelas ku yang mau bereteman dengan ku.
Faisal menjadi teman ku selama tiga tahun ini. Walaupun aku tahu dia dari
keluarga yang serba dalam kemewahan dan tampangnya yang cool juga keren tidak
seperti aku yang culun dengan warna baju yang sudah kuning karena tiga tahun
tidak pernah menggantinya dengan yang baru dia tidak pernah ama sekali memikirkan
status sosial entah itu kaya atau miskin.
Dia tidak pernah memperdebatkan harta yang dimilikinya
baginya harta merupakan titipan tuhan dan saat ini masih milik orang tuanya
bukan milik dirinya. Kesetia kawanannya mampu diacungi jempol. Dia berbeda dari
anak-anak kelas ku kebanyakan yang selalu menyombongkan hartanya.
Tanpa terasa aku sudah tiga tahun menjadi anak SMA. Ujian
nasional akan dimulai minggu depan. Sebelum Ujian Nasional siswa kelasku
mengadakan acara doa bersama disalah satu rumah teman ku, ada yang aneh dari
mereka secara khusus dan sangat special kali ini yang aku rasakan. mereka
mengjak ku
“Nan, maneh rek ngilu
moal doa bersama?” ujar Reihan
“arek atuh lamun urang
diajakan mah!” jawab ku
“tapi aya syarat na, maneh
ngilu engke mun barudak dahar maneh nu ngumbah piring, kumaha?” Kata mereka
sambil tersenyum
“he,eh lah bae!” aku
setuju saja dengan usulan Reihan. Aku berfikir yang penting mereka sudah
mengajak ku untuk hadir ditengah-tengah mereka
Senin adalah hari yang sangat menentukan aku lulus atau
tidak. Dengan sangat hati-hati aku mngerjakan soal dengan hati-hati. Setiap
sepulang sekolah Faisal selalu mengajak ku untuk belajar bersama. Dia juga
termasuk orang yang pandai dan mendapat ramngking 5 besar dikelas.
“Nan, belajar bareng
yu?” ajak Faisal
“hayu, di bumi ente
nya?”
“hayulah!”
***
Ujian
Nasional telah selesai dilaksanakan dan dalam waktu satu bulan dengan diopenuhi
tanda Tanya menunggu berita kelulusan. Kelas ku kali ini akan mengadakan acara
perpisahan di villa sekitar lembang aku juga turut serta dalam acara tersebut
namun lagi-lagi aku harus menerima kepahitan. Aku ikut mereka dan dijadikan
babu untuk membantu mereka seperti mencari kayu bakar untuk api unggun dan
mencuci piring lagi. Ternyata samapi kapan pun mereka tidak akan bisa menerima
ku.
Sebulan
sudah berlalu waktunya untuk dibagikan kelulusan. Dan dengan sangat senang hati
sekolah ku lulus 100%. Dengan bangganya lagi aku masuk dalam 10 besar nilai
Ujian Nasional tertinggi disekolah ku.
Aku
memasuki perguruan tinggi negeri dengan nilai yang memuaskan dan mendapat
beasiswa. Kini saya sudah bekerja di tsalah satu sekolah swasta dan menjadi
seorang guru kesenian.
Saat
sedang asyik berjalan saya bertemu dengan Ryan dia yang kuliah di ITB sampai
saat ini belum mendaptkan pekerjaan namun aku tidak ingin dendam ketika bertemu
akau menyapanya meski dia seprtinya dongkol beretemu lagi dengan sosok ku.
Pekerjaan
ku ini dan ditambah dengan pekerjaan kak surya dapat sangat membantu ibu, sehingga
ibu tidak perlu lagi bekerja sebagai penjual kue rumahan.
0 komentar:
Posting Komentar