Sabtu, 08 September 2012

cerpen


                                  KEBAHAGIAAN YANG TERWUJUD
Sejak kecil aku tak pernah menikmati kebahagiaan seperti orang kebanyakan dan anak-anak seusia ku. Aku Adnan Putra anak kedua dari dua bersaudara, kakak ku laki-laki umurnya hanya berjarak dua tahun lebih tua dariku. Ketika usia ku sembilan tahun dan pada saat itu aku masih duduk di kelas 4 SD orang tua ku bercerai. Keadaan ini membuat aku dan kakak ku surya tidak pernah mendapatkan perhatian dari seorang ibu dan ayah. Ibu kini bekerja sebagai penjual kue rumahan dan setiap hari harus menerima pesanan para pelanggannya sampai larut malam. Ayah sama sekali tidak pernah memikirkan biaya untuk aku dan kakak ku. Dia bukan lah sosok laki-laki yang bertanggung jawab pada keluarga.
            Meski keadaan ekonomi keluarga ku tidak terlalu kesulitan setelah ayah dan ibu bercerai, namun aku sangat merasa terlantar. Perhatian ibu tersita oleh pekerjaannya demi membiayai aku dan kakak ku. Sampai aku sudah beranjak remaja dan memasuki gerbang putih abu ayah tidak lagi pernah menampak kan wajahnya atau pun menelpon hanya untuk sekedar mengetahui kabar anak-anaknya semenjak kasus perceraian itu.
            Sesungguhnya aku amat sangat terpukul oleh keadaan ini. Tetapi, aku sama sekali tidak pernah mengeluh dan berusaha menutupi segala kesedihannku.
            Sekarang, aku mulai tumbuh dan menjadi seorang remaja. Bagi sebagian orang masa putih abu merupakan kesan terindah yang pernah di alami. Namun, ini tidak bagi diriku. Aku merasakan suasana kelas yang seperti neraka. Ketika aku memulai hari ku dan terbangun dari tidur aku berguman dalam hati ughh sekolah lagi,sekolah lagi itu tanda nya aku harus bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan.
            Penampilan ku tidak pernah bisa diterima oleh mereka. Kata mereka aku tidak gaul, gaya ku culun dan sebagainya. Yang memang kebanyakkan siswa dikelas ku merupakan anak orang konglomerat dan yang pasti gaji orang tua mereka melebihi gaji ibu ku yang hanya seorang penjual kue rumahan. Aku tidak seperti mereka yang sejak kecil hidup dalam kemewahan. Sejak ayah dan ibu bercerai aku sudah bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri untuk menambah biaya sekolah.
            Pekerjaan ku tidak terlalu berat dengan mengandalkan keahlian ku menggambar aku sering membuatkan komik atau gambar manga untuk teman-teman ku semasa sekolah dasar. Hal ini aku lakukan sampai aku memasuki sekolah menengah pertama. Semua berputar 90 derajat ketika aku memasuki gerbang putih abu. Mungkin, memang salah ku juga aku bersekolah di sekolah favorit dan menurut kabar dari tetangga ku yang bersekolah disana adalah orang yang serba dalam kemewahan.
            Aku memasuki sekolah ini karena guru ku semasa SMP mendaftarkan aku dengan jalur prestasi yang aku miliki yaitu menggambar dan melukis. Dengan senang hati aku menerima walaupun aku tahu bahwa jarang sekali orang yang perekonomiannya serba berkecukupan dapat masuk ke sekolah elite tersebut. Ibu dan kakak ku sangat mendukung untuk aku bersekolah disana. Mereka rela bekerja apa saja demi membiayai sekolah ku yang tidak murah untuk ekonomi keluarga ku sekarang ini.
            Pagi ini seperti biasa aku sekolah dengan mengendarai sepeda. Rumah ku tidak terlalu jauh jaraknya dari sekolah itu. Aku lebih senang mengendarai sepeda ketimbang harus menggunakan sepeda motor. Kakak ku menyarankan untuk memakai motornya namun aku mengelak karena aku tidak suka memakainya.
            Suasana kelas sudah cukup ramai. Jam sudah menunjukan pukul 06.40
“aniirr, hari gini kesekolah masih pake sepeda. Miskin pisan ente Nan!” ucap salah seorang teman ku bernama Ryan dengan logat sundanya. Aku tinggal didaerah buah batu-bandung tak heran banyak teman sekelasku berbicara menggunakan basa sunda
Aku sama sekali tak menghiraukan apa yang dia bicarakan “sia ngajak dia adu jeung aing!” kali ini dia memukul bahu ku dari belakang. Aku sempat terjatuh namun kemudian aku bangkit. Tidak ada yang membela ku seisi kelas malah menertawakan kejadian tadi
            Aku kembali berjalan menuju bangku temapt dimana aku duduk dan menyimpan tas. Beginilah aku tidak punya teman, duduk seorang diri. Sungguh miris kedangarannya. Siang ini pelajaran bahasa Indonesia. Bu Nining guru ku menyuruh kami membuat kelompok yang terdiri antara 4-6 orang perkelompok untuk materi diskusi.
“Buat materi diskusi ini, kalian buat kelompok yah? Satu kelompok bisa 4 sampai 5 orang” perintah Bu Nining
“Hey, aku kesini yah” Ucap ku pada salah satu kelompok, mereka sama sekali tak menjawab dan berpura-pura tidak mendengar
            Satu persatu kelompok telah aku coba dan tidak ada yang mau menerima aku menjadi salah satu anggota. Aku mulai pasrah dan kembali duduk lemas dibangku .
“Nan, kadieu we, masih kosong da ngan opatan ieu kelompok na!” teriak Faisal tiba-tiba. Dengan hati yang girang aku menghampiri mereka. Ternyata masih ada orang baik yang mau menerima ku disini. Meski aku tahu tidak semua anggota kelompoknya dapat menerima kehadiran ku.
***
            Aku menjalani hari demi hari dengan keikhlasan hati. Hanya satu dari sekian banyak siswa dikelas ku yang mau bereteman dengan ku. Faisal menjadi teman ku selama tiga tahun ini. Walaupun aku tahu dia dari keluarga yang serba dalam kemewahan dan tampangnya yang cool juga keren tidak seperti aku yang culun dengan warna baju yang sudah kuning karena tiga tahun tidak pernah menggantinya dengan yang baru dia tidak pernah ama sekali memikirkan status sosial entah itu kaya atau miskin.
            Dia tidak pernah memperdebatkan harta yang dimilikinya baginya harta merupakan titipan tuhan dan saat ini masih milik orang tuanya bukan milik dirinya. Kesetia kawanannya mampu diacungi jempol. Dia berbeda dari anak-anak kelas ku kebanyakan yang selalu menyombongkan hartanya.
            Tanpa terasa aku sudah tiga tahun menjadi anak SMA. Ujian nasional akan dimulai minggu depan. Sebelum Ujian Nasional siswa kelasku mengadakan acara doa bersama disalah satu rumah teman ku, ada yang aneh dari mereka secara khusus dan sangat special kali ini yang aku rasakan. mereka mengjak ku
“Nan, maneh rek ngilu moal doa bersama?” ujar Reihan
“arek atuh lamun urang diajakan mah!” jawab ku
“tapi aya syarat na, maneh ngilu engke mun barudak dahar maneh nu ngumbah piring, kumaha?” Kata mereka sambil tersenyum
“he,eh lah bae!” aku setuju saja dengan usulan Reihan. Aku berfikir yang penting mereka sudah mengajak ku untuk hadir ditengah-tengah mereka
            Senin adalah hari yang sangat menentukan aku lulus atau tidak. Dengan sangat hati-hati aku mngerjakan soal dengan hati-hati. Setiap sepulang sekolah Faisal selalu mengajak ku untuk belajar bersama. Dia juga termasuk orang yang pandai dan mendapat ramngking 5 besar dikelas.
“Nan, belajar bareng yu?” ajak Faisal
“hayu, di bumi ente nya?”
“hayulah!”
***
Ujian Nasional telah selesai dilaksanakan dan dalam waktu satu bulan dengan diopenuhi tanda Tanya menunggu berita kelulusan. Kelas ku kali ini akan mengadakan acara perpisahan di villa sekitar lembang aku juga turut serta dalam acara tersebut namun lagi-lagi aku harus menerima kepahitan. Aku ikut mereka dan dijadikan babu untuk membantu mereka seperti mencari kayu bakar untuk api unggun dan mencuci piring lagi. Ternyata samapi kapan pun mereka tidak akan bisa menerima ku.
Sebulan sudah berlalu waktunya untuk dibagikan kelulusan. Dan dengan sangat senang hati sekolah ku lulus 100%. Dengan bangganya lagi aku masuk dalam 10 besar nilai Ujian Nasional tertinggi disekolah ku.
Aku memasuki perguruan tinggi negeri dengan nilai yang memuaskan dan mendapat beasiswa. Kini saya sudah bekerja di tsalah satu sekolah swasta dan menjadi seorang guru kesenian.
Saat sedang asyik berjalan saya bertemu dengan Ryan dia yang kuliah di ITB sampai saat ini belum mendaptkan pekerjaan namun aku tidak ingin dendam ketika bertemu akau menyapanya meski dia seprtinya dongkol beretemu lagi dengan sosok ku.
Pekerjaan ku ini dan ditambah dengan pekerjaan kak surya dapat sangat membantu ibu, sehingga ibu tidak perlu lagi bekerja sebagai penjual kue rumahan. 

0 komentar:

Posting Komentar